Malam Sang Perias


Malam kelam mencekam, sinar rembulan menerawang melintasi dimensi alam. Cahaya penerangan alam telah redup, awan hitam menjadi pengalang. Suara-suara yang tergungang hanya lolongan srigala, kodok dan jangkrik. Sementara aku berada dikamar mayat seorang diri, terlihat jelas banyak jasad-jasad yang sudah tak berruh, bulu kuduk terus saja berdiri, merinding, pertanda rasa takut  melanda, namun sudah menjadi tuntutan karirku  sebagai perias mayat.
Hari pertama bekerja, aku mengalami kejadian-kejadian ganjil. Sekilas tampak sebuah bayangan hitam melesat cepat dibelakang tubuh. Mencoba melawan rasa takut dan berusaha tenang, berfikir itu sebuah imajinasi dari dunia maya, yang penting aku tidak mengganggu atau mereka hanya ingin berteman.
Tekat hati setengah bulat, berharap keajaiban dan keberanian menyatu. Kaki melangkah terpaksa menghampiri salah satu jasat. Tubuhnya berselimut kain putih dan terlentang diatas bipan, perlahan  tangan kanan meraih kain sambil memejamkan mata, dalam kalbu berbicara
“cukup membuka bagian kepala hingga bahu”.
Jantung berdetak semakin kencang dan nafasku terasa sesak entah mengapa mungkin tersumbat oleh masker yang menutupi hidung. kutarik nafas dalam-dalam sesekali menahan kemudian  menghembuskannya. Segera kelopak mata ku buka.
“Aaaaaaaaa…” teriakku, keheningan membuat suaraku bingar jelas dan menggema,  tak sengaja siku tangan menyenggol peralatan rias dan semua berhamburan dilantai. Jantung seakan berhenti berdetak ketika melihat mayat itu, matanya  melotot menatap langit-langit dan wajahnya putih pucat. Takut akan tatapan itu, kelopak mata yang terbuka lebar kututup dengan telapak tangan sambil mengucapkan ayat-ayat suci.

$$$

Aku berniat mengambil peralatan yang baru. Tangan meraih gagang pintu, engsel pintu berdesit bulu kuduk berdiri, lengkaplah suasana mencekam. Aku mengeluarkan kepala terlebih dahulu sambil menoleh kekanan dan kiri. Tak ada seorang pun hanya sunyi, sepi dan senyap. Jalan didepan setiap kamar  juga menambah kesan angker apalagi lampu neon yang semula menyala terang benderang hanya bisa memberikan terangnya beberapa detik saja. Layaknya cahaya ritmik lampu disco tapi dsini bukan didiskotik melainkan di Rumah Sakit.
Mentalku drop, keadaan ini berulang silih berganti
“Ya… Allah, berilah hambamu ini kekuatan dan keberanian meski hamba bukan orang suci tapi hamba adalah abdi yang bersimpuh diharadapanmu, jauhkanlah hamba dari hal-hal yang ganjil” do’a hatiku kepada sang maharaja. Kemudian aku membusungkan dada dan berjalan tegap bak seorang prajurit, tapi langkahku terlalu kaku karena takut.
Beberapa saat kemudian langkahku terhenti dan menoleh kearah kamar mayat, terdengar suara benda jatuh dari arah kamar mayat. Aku berlari secepat-cepatnya takut bukan kepalang­.

$$$

Nafas mendesah silih berganti dengan cepat, dilobi Rumah sakit perasaan lebih baik. Temanku siti mendekat dan bertanya
“Kau ini kenapa? Tadi aku dengar kau berteriak dan sekarang kau kemari dengan nafas seperti ini?” Tanya dia dengan mengunakan logat Batak yang masih kental
“Itu…. (hah… hah… hah…)” hampir tak dapat bicara
“Ya sudahlah, minum ini dulu” sembari memberikan segelas air putih
Aku merasa lega setelah minum air kemudian aku bicara 
“Aku ketakutan! Eh… Sit kamu bisa Bantu khan, tolong ambilin aku peralatan rias buat mayat yah! Aku mau istirahat dulu nih, please!”
“Lho… kau bisa takut? kayak anak kecil aja dan bukannya tadi sudah kau bawa peralatan rias itu?”
“Iya, tadi jatuh dan semuanya berantakkan”
“Oh…, kau tunggu dululah disini! biar aku yang ambil”
“Hah… akhirnya, mendingingan aku tiduran disofa lobi” gumamku dalam hati. Aku menatap lampu kristal dilangit-langit lobi, silaunya cahaya lambat laun membuat mataku sayu dan menguap, aku berusaha tidak tertidur tapi mataku… mataku….

$$$

“Mbaaaakk… mbaaakk….”
“Suara siapa itu?” kataku setengah berteriak sambil melihat sekeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat dan suara itu terus memanggil. Segera kutinggalkan tempat itu, beberapa langkah kemudian perasaan terasa lebih aman karena terlihat seorang wanita mengenakan daster putih, kami bertegur sapa dan dia meminta agar aku duduk disebelahnya. Tak lama dia menagis dan dia bilang
“Mbak tolong… tolong rias saya supaya lebih cantik”
Aku terkejut dari mana dia tahu kalau kau seorang perias dirumah sakit ini dan aku berfikir siapa dia. Dia menoleh kearahku sepertinya aku pernah melihatnya tapi entah dimana. Semenit setelah berfikir ternyata, dia… orang yang terbaring kaku dikamar mayat.
“Aaahhhhh…”. Teriakku dan berusaha lari tapi tak bisa, dia memegang pundakku sehingga tak bisa lari.

$$$

”Hey Sabrina… bangunlah kau” kata Siti sambil mengungcang-gungcangkan bahuku.
Aku terjaga, kuusap mataku dengan  kedua tangan. Ternyata hanya mimpi, tapi mimpi itu seperti benar-benar terjadi. Mungkin itu sesuatu permohonan dari orang yang sudah meninggal.
“Kau ini kenapa?”
“Ah… gak apa-apa cuman mimpi. Mana alat riasku?” 
Aku kembali kekamar mayat. Sebenarnya aku masih trauma atas kejadian tadi apalagi dibumbuhi dengan mimpi buruk yang baru aku alami. Aku membuka kain penutup tapi kali ini perasaan hati tidak sebombastis tadi. Paras wanita ini cantik, dia keturunan Tiong Hwa, bibir merah yang merekah, rambut hitam dan panjang mempercantik namun sayang kecantikkannya hanya bisa miliki untuk sementara dan kini jiwanya telah berpisah dengan wadal. Dia cantik luar biasa, mungkin karena hal ini, dia memintaku meriasnya meskipun dia sudah meninggal.
Akhirnya aku dapat menyelesaikan tugasku dengan baik, lega rasanya. Bunyi suara benda jatuh yang tadi aku dengar ternyata nampan yang aku gunakan untuk alat rias yang semula aku taruh agak ketepi dimeja. Tapi jelas yang membuat orang takut hanya perasaannya saja. Ini terbukti pada diriku sendiri, kini aku sudah terbiasa dan sangat nyukai pekerjaanku ini, disamping memicu adrenalin, juga mempertebal mental layaknya tembok besar cina.

Komentar

Postingan Populer